Pasokan Pupuk Berlimpah
Jakarta, Kompas - Revitalisasi pabrik pupuk membutuhkan dukungan investasi sekitar Rp 47,1 triliun, atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan revitalisasi pabrik gula yang membutuhkan Rp 24,3 triliun. Langkah ini sangat dibutuhkan untuk menjamin ketersediaan pupuk bagi petani.
”Saat ini pasokan pupuk sangat berlimpah, tetapi pabrik pupuk sudah banyak yang berusia tua sehingga menimbulkan kekhawatiran pada kami di sektor pertanian pada pasokan pupuk di jangka menengah (lima tahun) dan panjang. Pabrik yang tua juga menimbulkan ongkos produksi tinggi yang nantinya bisa mendorong harga menjadi mahal bagi petani,” ujar Wakil Menteri Pertanian sekaligus Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Menteri Koordinator Perekonomian, Bayu Krisnamuthi, dari Bogor, Minggu (31/1).
Menurut dia, pabrik pupuk di Indonesia sudah banyak yang berusia di atas 20 tahun, bahkan ada yang mendekati 30 tahun. Kondisi ini menyebabkan keandalan pabrik tersebut sangat rentan terhadap pemberhentian tiba-tiba akibat kendala teknis.
”Implikasinya adalah daya saing pabrik tersebut semakin rendah terhadap pabrik-pabrik baru karena inefisiensi dan tingginya ongkos produksi. Bagi petani, ini merupakan ancaman serius karena kenaikan ongkos produksi biasanya akan mendorong kenaikan harga jual,” ujar Bayu.
Penyusunan Rencana Aksi Revitalisasi Pabrik Pupuk ini merupakan salah satu program 100 hari yang harus tuntas 1 Februari 2010. Jika revitalisasi ini tercapai, pemerintah berharap kapasitas produksi pupuk urea meningkat dari 8,05 juta ton menjadi 10,4 juta ton, dengan investasi senilai Rp 45,2 triliun. Program ini juga diharapkan menambah kapasitas produksi pupuk NPK sebesar satu juta ton dengan nilai investasi Rp 1,9 triliun.
Tidak ada dukungan dana
Secara terpisah, Ketua Kelompok Kerja Pupuk Nasional Edy Putra Irawadi menuturkan tidak ada dukungan dana dari pemerintah terkait revitalisasi pabrik pupuk, baik dalam bentuk penyertaan modal negara maupun subsidi bunga, seperti yang diberikan dalam revitalisasi industri tekstil.
Revitalisasi pabrik pupuk diarahkan pada penggantian lima pabrik pupuk yang sudah berusia tua dan boros.
”Revitalisasi ini sudah dicanangkan sejak pemerintahan lalu. Namun, pasokan gas yang dikuasai asing membuat gas yang diproduksi hanya diambil untuk dipasok ke negara lain atau dijual ke pasar internasional. Kalaupun tiba-tiba ada pasokan, itu hanya karena pembeli asingnya tidak jadi membeli akibat krisis global sehingga harga gasnya sama seperti gas impor,” ungkap Edy.
Nama pabrik pupuk baru yang akan dibangun adalah Kaltim 5 sebagai pengganti pabrik Kaltim 1. Pabrik ini membutuhkan pasokan gas sebanyak 123 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd), tetapi baru bisa dipasok oleh Badan Pengatur Hilir Migas (BP Migas) sebanyak 80 mmscfd saja. Akibatnya, kapasitas pabrik baru ini diperkecil.
”Total investasinya 800 juta dollar AS, yang ditutup dari modal Pupuk Kaltim sendiri 30 persen dan 70 persen dari perbankan. Dengan cara ini, akan ada penghematan sekitar 70 juta dollar AS,” papar Edy.
Bayu menegaskan, revitalisasi pabrik pupuk bisa dijadikan momentum untuk memaksimalkan pasokan pupuk pada seluruh kebutuhan di setiap daerah yang berbeda-beda.
Arah penggunaan pupuk ke depan lebih mengarah pada bertambahnya penggunaan pupuk majemuk dan organik.
Pupuk majemuk diperlukan karena kandungan zat pada pupuk di setiap daerah tidak sama sehingga pasokan pupuk untuk padi di Karawang, Jawa Barat, misalnya, tidak akan sama dengan padi di Papua.
”Kandungan NP dan K di Karawang akan berbeda dengan Papua. Kami berharap revitalisasi pabrik pupuk ini dapat memenuhi kebutuhan ini,” ujar Bayu.
Sektor pertanian juga membutuhkan lebih banyak pupuk organik sehingga revitalisasi pabrik pupuk sebaiknya juga diarahkan pada pembangunan pabrik-pabrik baru yang menghasilkan pupuk organik.
Saat ini baru beberapa produsen pupuk yang menanamkan modalnya pada pabrik pupuk organik, yakni Pupuk Sriwijaya dan Pupuk Kaltim.
”Namun, pembangunan pabrik pupuk organik masih sebatas unit-unit produksi baru sehingga produksinya masih sangat terbatas. Padahal, trennya adalah pengembangan pupuk organik yang lebih banyak ketimbang urea,” ujar Bayu. (OIN)
Baca Selengkapnya