Mengurai Kelangkaan Pupuk
Pemerintah dikabarkan akan memperketat distribusi pupuk bersubsidi menyusul maraknya penyalahgunaan pupuk bersubsidi dan masih terjadinya kelangkaan pupuk. Ke depan penjualan pupuk tidak lagi dilakukan secara bebas kepada siapa pun, tetapi dikontrol dengan ketat.
Kelangkaan pupuk memang masih sering terjadi di sejumlah daerah. Memang tepat bila pemerintah mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengamankan pasokan dan mencegah penyalahgunaan pupuk bersubsidi.
Ketika berdialog dengan Menteri Pertanian Anton Apriyantono, misalnya, para petani di Jember menyampaikan keluhannya terkait dengan sering menghilangnya pupuk saat musim tanam (Republika, 18 Februari 2008). Namun, tidak tepat jika setiap terjadi kelangkaan pupuk, pihak produsen (PT Pupuk Sriwidjaja/Pusri dan anggota holding-nya) selalu menjadi pihak yang dipersalahkan. Kalau kita bersikap adil, banyak unsur yang terlibat dalam penyediaan pupuk bersubsidi ini, mulai dari regulator, produsen, distributor, pengecer, dan petani.
Berdasarkan kajian yang kami lakukan, terdapat beberapa rangkaian situasi yang menyebabkan kasus kelangkaan pupuk ini masih terjadi. Pertama, sebagai institusi yang berwenang menentukan besarnya kebutuhan pupuk bersubsidi, Departemen Pertanian (Deptan) menghitung kebutuhan pupuk bagi setiap daerah berdasarkan luas lahan dan pemakaian pupuk normal setiap hektarenya.
Persoalannya, basis data yang digunakan dalam menentukan luas lahan ini masih simpang-siur, baik antara Deptan dan BPS. Selain itu, perhitungan yang ditentukan Deptan biasanya berbeda dengan kebiasaan para petani.
Petani kita sering kelebihan dosis dalam penggunaan urea pada pola tanamnya. Implikasinya, kebutuhan pupuk bersubsidi oleh petani bisa jauh di atas alokasi yang ditentukan pemerintah.
Lalu, siapa dipersalahkan dalam situasi ini? Deptan sudah benar dalam menentukan kebutuhan pupuk bersubsidi, tetapi basis data harus lebih diperkuat. Petani karena sudah terlalu lama tidak memperoleh penyuluhan, juga tidak bisa disalahkan jika kebiasaan tanamnya seperti saat ini. Oleh karenanya, seluruh instansi pertanian (pusat dan daerah) agar lebih aktif menyosialisasi penggunaan pupuk yang tepat ini.
Kedua, selama ini instansi yang berwenang menentukan tata niaga pupuk adalah Departemen Perdagangan (Depdag). Depdag mengatur wilayah penyaluran atau rayonisasi pemasaran pupuk bersubsidi. Tujuannya menjaga kepastian harga, kebutuhan, serta wilayah pemasaran pupuk bersubsidi.
Regulasi ini diharapkan bisa memberikan jaminan kepada petani (berupa harga dan pasokan) maupun produsen pupuk (berupa kepastian wilayah pemasaran yang menjadi tanggung jawabnya). Di satu sisi, rayonisasi pemasaran pupuk bersubsidi ini memang penting untuk menjamin kepastian, baik bagi petani maupun produsen. Namun, sistem rayonisasi ini juga bisa menimbulkan problem lain.
Sistem rayonisasi ini akhirnya mengambil alih peran Pusri sebagai holding yang membawahi Petrokimia, Pupuk Kalimantan Timur (PKT), Pupuk Kujang, dan Pupuk Iskandar Muda (PIM). Jika distribusi pupuk ini dikembalikan melalui mekanisme holding, akan menciptakan fleksibilitas dalam penentuan wilayah pemasaran pupuk bersubsidi. Dengan demikian, holding dapat dengan mudah mengakomodasi berbagai aspek baik yang menyangkut aspek ekonomi maupun komersial.
Sistem rayonisasi juga telah menciptakan jalur birokrasi yang rumit dan berpotensi berat sebelah. Contohnya, satu produsen pupuk yang memiliki kewajiban mengalokasikan pupuk bersubsidi dalam jumlah besar, sementara produsen lainnya kecil. Sebagai BUMN yang dituntut laba, ketimpangan ini memberatkan produsen pupuk yang memiliki kewajiban pemasaran pupuk bersubsidi dalam jumlah besar.
Di luar itu, jika terdapat daerah yang mengalami kekurangan pasokan (misalnya akibat force majuer), juga tidak bisa serta-merta dapat ditangani oleh produsen lain. Sebagai barang dalam pengawasan negara, pengalihan alokasi pupuk bersubsidi ke bukan daerah pemasaran yang telah ditentukan pemerintah dapat berpotensi terjerat pidana. Kompleksitas di lapangan inilah yang dapat menyebabkan kelangkaan pupuk.
Ketiga, menyangkut pola subsidi pupuk. Seperti disebut di atas, Deptan adalah institusi yang berwenang menentukan besarnya kebutuhan pupuk bersubsidi di daerah. Perhitungan Deptan inilah yang digunakan untuk menentukan subsidi yang diterima produsen pupuk dari Departemen Keuangan.
Pola subsidi pupuk yang berlaku saat ini adalah pola subsidi harga gas. Besaran subsidi untuk urea dihitung berdasarkan harga gas sesuai kontrak (dolar AS/mmbtu) dikurangi harga gas yang menjadi beban produsen pupuk (dolar AS/mmbtu) dikalikan volume pemanfaatan gas. Produsen pupuk tetap membayar gas dengan harga sesuai kontrak, sedangkan selisihnya dibiayai APBN.
Pola subsidi melalui harga gas ini menimbulkan kompleksitas bagi produsen pupuk karena tidak compatible dengan perhitungan biaya produksi. Pola subsidi harga gas ini mengabaikan biaya lainnya di luar biaya gas. Padahal, selain gas masih terdapat biaya transportasi dan biaya operasi lainnya yang bergerak naik, sementara harga jualnya telah ditentukan melalui harga eceran tertinggi (HET).
Keempat, kelangkaan pupuk juga diakibatkan karena maraknya penyelundupan pupuk ke luar negeri oleh para mafia perpupukan. Penyebab penyelundupan tersebut adalah akibat adanya disparitas harga yang tinggi antara harga jual domestik (HET) dan harga ekspor. Harga pupuk di luar negeri bisa mencapai 250 dolar AS/ton, sedangkan HET hanya Rp 1.050 per kilogram (sekitar 100 dolar AS/ton).
Dari uraian di atas, terlihat bahwa di balik kasus kelangkaan pupuk di daerah, ternyata menyimpan masalah yang cukup rumit. Kasus kelangkaan pupuk ini tidak bisa ditangani secara parsial. Kelangkaan pupuk membutuhkan penanganan yang komprehensif dari berbagai sisi.
Terdapat beberapa solusi yang diusulkan untuk mengatasi kelangkaan pupuk ini. Pertama, menyangkut pola distribusi. Kami mengusulkan agar pengaturan pemasaran pupuk dikembalikan kepada holding, tanpa diatur lagi oleh Depdag. Pemerintah cukup mewajibkan holding agar kebutuhan pupuk bagi petani jangan sampai tidak tercukupi.
Kewajiban ini nantinya masuk dalam key performance indicator (KPI) ketika direksi holding BUMN pupuk dilantik. Dengan diserahkan ke holding, integrasi antara kebutuhan korporasi dan kewajiban pemasaran domestik (public service obligation) dapat diatur fleksibel sehingga fairness di antara produsen pupuk dapat dijaga.
Saat ini yang berperan sebagai holding adalah PT Pusri. Namun, fungsi holding ini dinilai tidak cukup efektif dijalankan Pusri sebab sisi pemasarannya masih diatur Depdag. Kementerian BUMN juga telah melakukan kajian pembentukan PT Pupuk Indonesia untuk menggantikan peran Pusri sebagai holding yang akan membawahi Pusri, PKT, Petrokimia, Kujang, dan PIM.
Kedua, perlu dipertimbangkan untuk mengganti pola subsidi harga gas dengan subsidi harga produk. Dengan pola ini, subsidi nantinya akan mencerminkan biaya riil yang dikeluarkan untuk men-deliver pupuk sampai ke petani.
Namun, audit atas struktur biaya produksi dan operasional produsen pupuk harus terlebih dahulu dilakukan. Ini mengingat dalam beberapa kasus dapat dijumpai adanya biaya yang tidak relevan dengan operasional produsen pupuk, tetapi dimasukkan dalam biaya operasional pengadaan pupuk.
Sunarsip
Mantan Wakil Ketua Tim Kerja Restrukturisasi Holding BUMN Pupuk
Fahri Hamzah
Anggota Komisi III DPR RI
Ikhtisar:
- Ada beberapa rangkaian yang menyebabkan kelangkaan pupuk sering terjadi.
- Regulasi masih kurang menjamin usaha petani.
Baca Selengkapnya