Kupon Pupuk Diuji Coba 2007
Pemerintah akan mencoba sistem kupon atau voucher untuk distribusi pupuk bersubsidi pada tahun 2007. Tujuannya untuk mencegah kelangkaan pupuk dan anggaran subsidi pupuk yang sangat terbatas dalam APBN dapat mencukupi pasokan pupuk kepada petani hingga akhir tahun 2007.
Menko Perekonomian Boediono mengungkapkan hal tersebut dalam Rapat Gabungan Komisi IV dan VI dengan Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, dan Menteri Negara BUMN Sugiharto di Jakarta, Selasa (5/12).
Menurut Boediono, pemerintah berencana mengubah sistem subsidi dalam jangka menengah (2007-2009) untuk menjaga agar anggaran subsidi dalam APBN tidak menggelembung. Sistem baru ini diharapkan dapat mengarahkan penggunaan dana subsidi pupuk secara tepat sasaran.
"Kami telah mengkaji beberapa model subsidi. Salah satunya voucher atau dengan mekanisme lain yang akan kami konsultasikan kepada DPR," katanya.
Uji coba ini akan dilakukan menjelang akhir masa tanam pertama 2007. Hasil uji coba, kata Boediono, akan dievaluasi secara menyeluruh pada pertengahan 2007, baik yang terkait dengan kebijakan pupuk secara umum, jumlah kebutuhan pupuk yang sebenarnya, irama tanam, dan pasokan pupuknya.
"Setelah uji coba, kami akan mengetahui kondisi sebenarnya. Apa perlu menambah subsidi melalui Anggaran Biaya Tambahan (ABT) atau tidak. Subsidi sebagian atau penuh," katanya.
Boediono memperkirakan tidak ada perubahan Harga Eceren Tertinggi (HET) pada tahun 2007, meskipun anggaran subsidi dalam APBN sebesar Rp 5,8 triliun hanya cukup untuk 280 hari.
"Dalam konteks ini, pemerintah memutuskan tidak mengubah HET untuk mengamankan musim tanam yang kami harapkan menjadi panen raya, terutama beras," ujarnya.
Mekanisme
Salah seorang anggota DPR mempertanyakan mekanisme pembagian kupon tersebut agar tepat sasaran, sampai ke petani.
Masalahnya, puluhan juta petani yang berkepentingan dengan pupuk bersubsidi ini. Siapa yang berhak menerima, apakah petani pemilik lahan, petani penggarap, lalu siapa yang mendistribusikannya dan jaminannya benar-benar tepat sasaran. Berdasarkan pengalaman dalam penyaluran bantuan langsung tunai konvensasi kenaikan harga bahan bakar minyak, banyak terjadi penyimpangan sehingga bantuan tidak kena sasaran.
Pemerintah dalam rapat tersebut belum menjawab pertanyaan seputar mekanisme pendistribusian kupon. Jawaban akan diberikan dalam rapat berikutnya, yang dijadwalkan hari ini.
Salah jalan
Dalam kesempatan terpisah saat seminar nasional Sistem Distribusi Pupuk Urea Bersubsidi, Presiden Direktur Institute for Development of Economic Finance (Indef) Fadhil Hasan mengatakan, pemerintah telah salah jalan karena menangani masalah pupuk dengan pendekatan subsidi. Penggunakan kupon atau bantuan langsung secara tunai kepada petani pun takkan memecahkan masalah. Persoalan utamanya di hulu.
"Masalah sudah muncul sejak pemerintah menetapkan HET. Idealnya, serahkan saja ke mekanisme pasar, karena nanti pasar akan menciptakan keseimbangan sendiri. Upaya membantu petani sebaiknya tidak diterapkan pada posisi input, tetapi pada output. Misalnya, menaikan harga gabah atau memperbaiki jalan, sehingga bisa menekan biaya transportasi," katanya.
Kajian Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan, dengan asumsi kapasitas angkut dalam sekali perjalanan sebesar Rp 7.000 kilogram (kg), kemudian harga tebusan di tingkat produsen Rp 1.060, dan di pengecer ke distributor Rp 1.165 per kg, distributor pupuk di Lampung merugi Rp 18,55 per kg dan pengecer Rp 9,63 per kg.
Meski merugi, ujar Fadhil, distributor dan pengecer di Lampung tetap bertahan karena mereka menjual pupuk secara eceran (di bawah 50 kg), sehingga mendorong kenaikan harga jual. "Harga semakin naik, jika ada pengurangan timbangan atau subsidi silang dengan komponen lain yang mereka jual. Melihat kondisi itu, peluang terjadi penyimpangan tinggi," katanya.
Bagian lain kajian IPB itu menyebutkan, persoalan pupuk di tingkat produsen meliputi disparitas harga di dalam negeri dan luar negeri terkait "peluang keuntungan" yang mungkin diperoleh. Sementara persoalan di tingkat distributor meliputi keterlambatan, kelemahan manajemen pergudangan, tuntutan kebutuhan petani yang serentak, dan kesulitan administrasi, yang terkait pungutan liar.
Di tingkat pengecer, masalah yang muncul adalah kekurangan stok sehingga harus mencari pupuk di daerah lain, kemudian penggunaan pupuk di luar ketentuan subsidi seperti untuk industri dan perkebunan, dan biaya angkutan yang tinggi.
Di tingkat petani masalah meliputi sikap belum nyaman kalau tidak pakai urea, kebutuhan serentak di musim tanam, jatah berkurang, pemakaian berlebih, belum terjangkau distributor.
Presiden Direktur PT Pupuk Sriwidjaja Dadang Heru Kodri mengakui beratnya beban biaya distribusi pupuk urea bersubsidi. "Perlu terobosan pemberian subsidi kepada petani untuk mengatasi persoalan distribusi yang tersendat dan mengakibatkan kelangkaan serta naiknya harga pupuk," ujarnya. (OIN/MAS)
Read More