JAKARTA: Megaproyek pembangunan pabrik pupuk baru dalam rangka revitalisasi pabrik milik PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) diperkirakan menelan investasi US$2,4 miliar.
Di dalam proyek nasional itu, Pusri berkewajiban membangun tiga pabrik baru di Sumatra Selatan dan Donggi-Senoro, Sulawesi Tengah. Proyek ini bisa segera dimulai apabila pemerintah menjamin seluruh kebutuhan gas ketiga pabrik tersebut minimal selama 20 tahun.
"Revitalisasi pabrik Pusri akan diarahkan di dua tempat itu. Jika di wilayah Tangguh [Papua] sudah diketahui dan dipastikan pasokan gasnya, Pusri bisa saja membangun pabrik di sana," kata Dirut Pusri Dadang Heru Kodri akhir pekan lalu.
Dadang optimistis pendirian pabrik baru di Sumsel dapat diwujudkan, kendati pasokan gas di wilayah tersebut sangat terbatas. Tambahan satu atau dua unit pabrik di Sumsel dinilai sangat strategis mengingat infrastruktur dasar, seperti pelabuhan, jalan raya, air bersih, dan listrik, cukup baik sehingga dapat menghemat biaya investasi.
"Di Sumsel kami masih berusaha sebab, katanya, akan didirikan pabrik LPG. Jika benar, pabrik ini akan memproduksi gas C1 [sebagai residu]. Gas C1 yang dibuang ini akan kami pakai," terangnya.
Jika pabrik baru dibangun di atas infrastruktur yang lengkap, jelas Dadang, total investasi yang dikucurkan maksimum hanya US$700 juta. Adapun pabrik yang didirikan di tengah keterbatasan infrastruktur, nilai investasi diperkirakan US$1 miliar.
Dadang yakin pendanaan untuk megaproyek revitalisasi pabrik pupuk tidak akan menjadi masalah utama mengingat sejumlah bank BUMN, seperti Mandiri, BNI, dan BRI bersedia mengucurkan modal.
"Yang kami risaukan tentu masalah ketersediaan gas. Jika pasokan gas dalam jangka panjang tersedia, mereka [perbankan] pasti siap," tuturnya.
Alokasi gas
Menurut Dadang, pabrik baru Pusri di Donggi-Senoro membutuhkan gas sekitar 90 juta standar kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/MMscfd). Namun, pemerintah hanya berkomitmen mengalokasikan gas untuk pabrik tersebut sekitar 60 MMscfd atau 66,7% dari total kebutuhan.
Apabila ketersediaan gas hanya sebesar itu, Pusri akan menggunakan batu bara sebagai proses gasifikasi, sedangkan sebagian besar pasokan gas (raw gas) Donggi-Senoro tetap digunakan sebagai bahan baku urea.
"Untuk kepastiannya, kita tunggu pada akhir bulan ini. Studi kelayakannya sudah selesai," jelasnya.
Berdasarkan roadmap revitalisasi Pusri Holding, PT Pusri mendapat mandat untuk membangun tiga unit pabrik baru, yakni Pusri II B, III B, dan IV B dengan total kapasitas produksi 9.000 ton urea per hari atau setara dengan 2,97 juta ton per tahun.
Ketiga pabrik baru itu membutuhkan pasokan gas jangka panjang minimal 20 tahun. Setiap hari, gas yang dibutuhkan mencapai 258 MMscfd atau setara dengan 89.010 MMscf/tahun.
Jika telah beroperasi komersial, Pusri rencananya menghentikan tiga unit pabrik lama, yakni Pusri I, III, dan IV karena sudah tidak efisien. Namun, perseroan masih mempertahankan satu pabriknya yakni Pusri I B karena dinilai masih efisien.
"Pabrik-pabrik lama itu sangat boros energi. Untuk memproduksi 1 ton urea saja dibutuhkan gas 32 per juta Btu [British thermal unit], sedangkan pabrik pupuk yang baru hanya butuh 24-26 per juta Btu," terangnya.
Dadang mengungkapkan Pusri akhirnya mendapatkan pasokan gas baru sebesar 166 MMscfd dari Pertamina E&P dari total kebutuhan 188 MMscfd. Pasokan gas tersebut digunakan untuk mempertahankan operasional pabrik Pusri I B, III, dan IV.
"Saya sudah menandatangani kontrak pada 13 April lalu di kantor BP Migas [Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi]. Pasokan gas tersebut untuk kebutuhan 5 tahun ke depan mulai 2012 hingga 2017," katanya.
Adapun kekurangan gas sekitar 14 MMscfd, jelasnya, akan dialokasikan dari JOB Pertamina-Talisman dan ConocoPhillips. Menurut Dadang, pasokan gas untuk Pusri akan bertambah seiring dengan program revitalisasi pembangunan pabrik pupuk baru.
([email protected])
Oleh Yusuf Waluyo Jati
Bisnis Indonesia