“Yang jelas, jika tidak kami stek, produksi akan turun terus. Selama ini petani kesulitan mendapatkan bibitnya, harus cari-cari, kini dibantu pemerintah.”
Palembang (ANTARA) - Produksi kopi di Sumatera Selatan dinilai belum optimal, hanya berkisar 900 Kilogram per hektare (ha) per tahun atau kurang dari satu ton, padahal produksi kopi negara produsen lainnya sudah mencapai 3 ton per ha per tahun.
Program sambung pucuk tanaman kopi pun menjadi andalan pemerintah setempat untuk mendongkrak produksi petani dalam tiga tahun ke depan. Lokasi yang dipilih yakni Kota Pagaralam karena menjadi sentra kopi asal Sumsel yang sudah merambah pasar internasional.
Kopi asal Kota Pagaralam, Provinsi Sumatera Selatan telah meraih pengakuan internasional atas citarasa uniknya dalam ajang kontes kopi dunia AVPA (Agency for the Valorization of the Agricultural Products) Gourmet Product tahun 2020 di Paris, Prancis.
Daerah yang terletak di kaki Pegunungan Dempo pada ketinggian 400 - 3.400 dpl ini setidaknya menghasilkan 900 ton biji kopi per tahun. Namun, semakin lama produktivitas semakin menurun karena rata-rata tanaman sudah berusia tua.
Wakil Gubernur Sumsel Mawardi Yahya mengatakan program sambung pucuk ini bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas tapi bertujuan menjaga eksistensi kopi asal Pagaralam yang saat ini sudah dikenal secara nasional maupun internasional. Pagaralam ini merupakan daerah penghasil kopi terbaik di Sumsel. Agar kopinya dapat terus bersaing maka harus ada upaya lebih.
Demi suksesnya program, pemprov bekerja sama dengan PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) untuk menyuplai pupuk berkualitas ke petani kopi setempat. Dengan begitu, program sambung pucuk tanaman kopi tersebut akan berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Program sambung (stek) pucuk ini sebenarnya sudah dijalankan di Pagaralam sejak empat tahun lalu, namun pada 2021 dilakukan upaya yang lebih serius yakni pemberian dua juta bibit ke petani.
Dalam lima tahun ke depan, program sambung pucuk tersebut diharapkan dapat merata di seluruh perkebunan Kopi Pagaralam. Dalam program tersebut, petani dibantu bibit hingga peralatan pendukung seperti plastik dan pisau.
Kopi Pagaralam
Pagaralam merupakan daerah di Sumatera Selatan yang dikenal karena keindahan panorama alamnya. Layaknya nama yang disematkan kepadanya, daerah yang berada di ketinggian lebih kurang 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) dipagari oleh alam yakni dikelilingi oleh Bukit Barisan dan Gunung Dempo.
Berada di kaki gunung, membuat daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kaur di Bengkulu ini terkenal atas kesuburannya sehingga unggul di sektor perkebunan dan pertanian.
Tak mengherankan selama puluhan tahun, Pagaralam yang berjarak sekitar 298 Kilometer dari Kota Palembang (ibu kota Sumsel) ini menjadi penghasil kopi, buah-buahan dan sayuran yang produknya juga memenuhi kebutuhan provinsi tetangga yakni Lampung, Bengkulu dan Jambi.
Soal kopi, daerah yang secara administrasi pemerintahan sudah disebut kota ini memiliki sejarah panjang karena berkaitan dengan masa penjajahan Belanda.
Ambisi perusahaan dagang Belanda (VOC) untuk mengalahkan bangsa Arab dalam perdagangan kopi internasional, telah melahirkan ribuan hektare perkebunan kopi di Jawa hingga Sumatera (Sumsel, Bengkulu dan Jambi). Sejak itu, sekitar tahun 1920, bukit-bukit indah yang ada di Pagaralam mulai ditanami kopi jenis robusta dalam skema tanam paksa.
Namun disayangkan, walau sudah berproduksi satu abad lebih, kopi asal Pagaralam ini sulit naik kelas. Istilah “kopi asalan” melekat pada kopi yang memiliki keunggulan dari rasa pahitnya itu. Walhasil, biji kopinya hanya dibanderol Rp18.000/Kg.
Tak dapat disalahkan juga, istilah asalan itu muncul disebabkan petani setempat melakukan pasca panen yang “ngasal” mulai dari petik pelangi yakni memetik seluruh buah secara serentak mulai dari yang berwarna merah, kuning dan hijau hingga menjemur biji kopi di tanah atau di jalan beraspal.
Dari sisi brand, kopi Pagaralam ini juga masih kalah terkenal dibandingkan kopi Semendo asal Lahat. Belum lagi jika berbicara untuk wilayah Sumatera, karena sudah ada kopi Lampung, kopi Kerinci (Jambi), dan kopi Gayo (Aceh).
Terkait brand ini, bahkan ironi yang terjadi. Kopi Pagaralam diketahui sebagian besar masuk ke Lampung karena pintu perdagangannya memang ke sana yaitu pengepul membawa barang ke Lampung, bukan ke Palembang. Namun, ketika sudah berpindah wilayah, kopi Pagaralam pun tenggelam dan berganti nama menjadi kopi Lampung.
Adanya program sambung pucuk ini pun menjadi harapan baru petani kopi Pagaralam untuk membenahi sektor hulu. Mereka pun antusias dalam menjalankan program tersebut, yakni teknik perbanyakan pohon dengan cara penyambungan antara pucuk batang dan cabang-cabang lain dari pohon kopi.
“Yang jelas, jika tidak kami stek, produksi akan turun terus. Selama ini petani kesulitan mendapatkan bibitnya, harus cari-cari, kini dibantu pemerintah,” kata Cristianto.
Teknik stek ini memiliki banyak keuntungan, diantaranya adalah mudah dilakukan, sifatnya akan sama dengan induk yang dipilih, lebih cepat berbuah dan hasilnya akan lebih seragam. Ada beberapa kelemahan yang akan muncul pada tanaman kopi yang menggunakan teknik stek, diantaranya adalah tanaman tidak memiliki akar tunjang dan akan lebih mudah roboh, serta pada usia muda biasanya akan lebih mudah diserang nematoda
Namun saat ini beberapa kekurangan tersebut bisa diatasi dengan cara penyambungan batang, kata Pengurus Desa Wisata dan Sekolah Kopi (Dewisekopi) Basemah ini.
Saat ini Pagaralam memproduksi sekitar 900 juta biji kopi per tahun. Jika tidak dilakukan program sambung pucuk ini maka dipastikan produksi akan stabil di kisaran tersebut, bahkan akan terus merosot. Setelah dijalankan program ini, menurutnya, produksi kopi Pagaralam diperkirakan akan meningkat sekitar 30 persen pada dua tahun mendatang.
Achmad Ardiansyah, petani kopi lainnya mengatakan saat ini permintaan terhadap kopi Pagaralam terus meningkat seiring dengan semakin terkenalnya jenis kopi robusta ini.
Kini, harga biji kopi yang petik “pelangi” berada di kisaran Rp20.000 per Kg, dari sebelumnya hanya Rp17.00-Rp18.000 per Kg. Sementara untuk harga biji kopi petik merah dibanderol Rp24.000 per Kg.
Terkadang, pembelinya sendiri yang datang langsung ke Pagaralam. Ini jauh lebih baik karena memperpendek rantai perdagangan, kata dia.
Pasar baru
Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan Zain Ismed mengatakan selama ini produksi kopi di Sumsel sekitar 800-900 kilogram per ha per tahun. Jumlah tersebut masih sangat jauh dibandingkan produksi negara lain, seperti Vietnam, yang kini telah mencapai 3 ton per tahun.
Ini patut menjadi perhatian karena segmen pasar kopi Sumsel masih bersaing dengan Vietnam yang mampu menghasilkan sedikitnya 3 ton produksi pertahun.
Perdagangan kopi Sumsel sementara ini masih berkembang di pasar lokal, melalui kafe-kafe dan industri kecil UMKM yang diakui saat ini sedang menjamur.
Namun, kondisi ini belum bisa membuat petani masuk kategori sejahtera. Oleh karena itu, pemerintah harus bekerja lebih keras lagi untuk membantu mereka untuk mencari akses pasar baru. “Harusnya diciptakan pasar baru, misalnya ke Taiwan,” kata Zain.
Selama ini Sumsel hanya berorientasi pada pasar Eropa dan Amerika yang segmen pasarnya sebenarnya untuk kopi jenis arabica, sedangkan kopi Sumsel ini 95 persennya berjenis robusta.
Belakangan malah muncul negara pesaing baru yakni negara Ethiopia, dan Sumsel juga tidak bisa menutupi fakta bahwa saat ini mulai dikejar Brazil, Vietnam, dan Kolombia.
Harus ada keseriusan untuk mengurus komoditas kopi ini, mulai dari hulu hingga hilir, jika tidak komoditas ini tetap tidak bisa naik kelas di tengah tingginya permintaan dunia, kata Zain.
Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), mencatat bahwa dalam setahunnya produksi biji kopi kering di daerah ini mencapai 191.081 ton, dari luas lahan perkebunan kopi seluas 250.198 ribu ha. Produksi tersebut berasal dari perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional.
Petani kopi tersebar di 12 kabupaten dan kota di Sumsel. Dari semua daerah itu, ada tujuh daerah yang potensial produksi kopinya yaitu Muaraenim, Empat Lawang, Pagaralam, Lahat, Musi Rawas, OKU, dan OKU Selatan.
Sejauh ini untuk kabupaten dan kota di Sumsel yang sudah mengantongi Sertifikat Indikasi Geografis (SIG) untuk kopi robustanya yakni baru tiga daerah yaitu Kabupaten Muaraenim, Kabupaten Empat Lawang dan Kota Pagaralam.
Bukan itu saja, sejumlah kelompok petani kopi juga sudah ada yang mendapat Sertifikat Organik dari BIOcert. Mereka adalah Kelompok Tani (KT) Bhineka Tunggal Ika asal Desa Sumber Karya, Kecamatan Gumay Ulu, Kabupaten Lahat. Kemudian, KT Harapan Jaya asal Desa Pekuwolan, Kecamatan Buay Rawan dan KT Sinar Mulya asal Desa Bedeng Tiga, Kecamatan Warkuk Ranau Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan.
Sumatera Selatan semakin mengukuhkan posisinya sebagai produsen kopi terbesar di Indonesia. Menurut data Kementerian Pertanian pada 2020, produksi kopi di provinsi tersebut mencapai 199.324 ton. Produksi kopi Sumatera Selatan tersebut lebih dari seperempat produksi kopi nasional yang sebesar 773.410 ton.
Berdasarkan dari data FAO 2017, Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar keempat dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Pada 2017, Brazil sebagai penghasil kopi terbesar dunia memproduksi kopi sebanyak 2,6 juta ton, yang disusul oleh Vietnam dengan jumlah produksi sebanyak 1,5 juta ton, Kolombia dengan 754.376 ton dan Indonesia berada di peringkat keempat dengan jumlah produksi sebesar 668.677 ton.
Salah satu bukti kopi asal Sumsel sudah merambah pasar internasional yakni belum lama ini PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) mengekspor sebanyak 100 ton dengan potensi per bulan ditingkatkan sebanyak 200 ton atau sekitar Rp5,7 miliar ke Mesir.
Jenis kopi yang diekspor ke Mesir ialah kopi robusta yang tumbuh di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan. Kopi-kopi ini memiliki cita rasa unik yang dipengaruhi oleh cara pengolahannya dan kekhasan iklim daerah.
“PPI bersama dengan buyer telah menandatangani kontrak ekspor kopi ke Mesir sebanyak 600 ton terhitung mulai bulan September hingga Desember 2021 setara dengan 1,2 juta dolar AS,” kata Direktur Utama PPI Nina Sulistyowati.
Peningkatan produktivitas kopi menjadi sangat penting karena harga di tingkat petani diakui masih rendah. Apalagi, berdasarkan data Kementan 2021, Sumsel sudah mengalami pertumbuhan minus 1,25 persen pada 2021 untuk produktivitas kopi yakni dari 191.081 ton menjadi 188.760 ton.
Tapi yang tak kalah penting, bukan hanya meningkatkan produktivitasnya tapi bagaimana kopi yang dihasilkan juga berkualitas agar kopi Sumsel benar-benar naik kelas. Artinya, butuh pengawalan dari hulu ke hilir.
Sumber: https://www.antaranews.com/berita/2457489/mendongkrak-produktivitas-kopi-sumsel