PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Palembang melampaui target produksi 2020 seperti yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP).
Pada tahun ini, Pusri memproduksi urea sebanyak 2.052.500 ton per tahun (129 persen dari RKAP), amoniak sebanyak 1.286.500 ton per tahun (127 persen dari RKAP), dan NPK sebanyak 198.610 ton per tahun (122 persen dari RKAP).
Direktur PT Pusri Tri Wahyudi Saleh mengatakan keberhasilan ini semakin menyakinkan pemerintah mengenai peran Pusri dalam mendukung ketahanan pangan nasional.
"Capaian positif ini sangat kami syukuri, apalagi di tengah pandemi covid-19. Ke depan, Pusri telah menyiapkan sejumlah strategi agar 2021 lebih baik," kata Tri dikutip dari Antara, Selasa, 29 Desember 2020.
Ia mengatakan pada 2021, Pusri akan memulai proses sentralisasi dengan perusahaan holding PT Pupuk Indonesia sehingga sebagai anak perusahaan akan terus memberikan dukungan.
Selain itu, pada tahun mendatang, Pusri akan fokus pada program Agro Solusi yakni program pendampingan petani dari hulu dan hilir.
"Melalui program ini, petani diharapkan semakin tidak bergantung dengan pupuk subsidi karena pemupukan yang benar telah berhasil menekan biasa produksi," kata dia.
Pada tahun mendatang, BUMN asal Sumatra Selatan ini juga menargetkan akan melakukan sejumlah riset untuk pengembangan pupuk NPK jenis komoditas.
Pusri sejak 2016 juga memproduksi pupuk NPK dengan kapasitas 1x100 ribu ton per tahun, kemudian pada 2020 dilakukan peresmian Pabrik NPK Fusion II dengan kapasitas 2x100 ribu ton per tahun sehingga terjadi peningkatan kapasitas produksi menjadi 300 ribu ton per tahun.
"Kami sudah ada NPK singkong dan kopi, dan beberapa waktu lalu di Belitung, kami juga sudah meluncurkan NPK lada dan NPK kopi. Kami juga sedang melakukan riset untuk NPK tebu," kata dia.
Kemudian, pada 2021, Pusri merencanakan pembangunan pabrik Pusri IIIB untuk mengganti pabrik yang sudah berusia tua dan boros penggunaan gas yakni Pusri III dan Pusri IV.
Sejauh ini, Pusri sudah membuat studi kelayakan dan meminta dukungan dari sisi eksternal seperti Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan. Hal ini dilakukan karena pabrik yang ditaksir membutuhkan dana Rp10 triliun tersebut membutuhkan kepastian dari sisi logistik mengingat telah terjadi pendangkalan Sungai Musi.