Menanti Sinergi Antar Departemen
SEBAGAI produsen pupuk di tanah air, PT Pusri (holding) dipercaya untuk memenuhi stok pupuk nasional untuk kebutuhan sektor pertanian secara makro. Di bagian lain, sebagai industri perusahaan ini juga dituntut untuk menghasilkan profit guna mengisi pundi-pundi negara. Jika ada pertanyaan mana yang lebih penting, memenuhi kebutuhan pupuk nasional atau menghasilkan profit. Dua-duanya akan menjadi hal yang sangat penting. Satu untuk kebutuhan masyarakat bawah (baca- petani) untuk ketahanan pangan nasional. Sementara sebagai perusahaan penghasil profit berperan didalam menggerakkan perekonomian nasional dan tenaga kerja.
Dua peranan ini sudah lama menjadi membebani tubuh perusahaan pupuk tanah air. Kendati sudah menjadi tugas dan tanggung jawab perusahaan pupuk, namun semuanya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku. Perusahaan pupuk mengalami kondisi dilematis. Di satu sisi dituntut memenuhi kebutuhan stok pupuk nasional dan tidak diperbolehkan impor. Di sisi lain untuk melakukan ekspansi guna mengembangkan usaha, tidak mendapat jaminan bahan baku gas dari produsen gas tanah air, bahkan mendapat perlakukan kurang adil dengan membeli gas dalam kurs dolar dan bukan mata uang rupiah, kendati pembelian untuk konsumsi dalam negeri. Kondisi ini menyebabkan beberapa pabrik sudah berusia tua. Sementara menunggu agar ada jaminan pasokan gas sebagaimana yang menjadi persaratan pihak perbankkan justru tidak kunjung datang.
Harus disadari bahwa gas, saat ini sudah menjadi komoditas ekonomi yang telah menghidupi orang banyak. Namun menurut Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, biasanya komponen yang menghidupi lebih banyak orang itu akan lebih tinggi lobinya dan lebih kuat dari yang di bawah sehingga jika pabrik pupuk yang notabenenya untuk membantu kehidupan petani jika tidak dianggap penting maka kehidupan industri pupuk akan menjadi termarjinal.
Dia mengakui sumber daya ekonomi nasional selalu menjadi kue yang diperebutkan sehingga di sini akan berlaku hukum pasar. Siapa yang kuat akan menang. Posisi industri pupuk didalam perebutan komoditas bahan baku pupuk bagian ekonomi yang menjadi kelompok marginal. "Sehingga sudah menjadi tugas pejabat untuk melindungi jika tidak ada pejabat yang tidak melindungi kelompok yang termarjinal itu sebetulnya sudah tidak pantas menjadi pejabat, sebaiknya menjadi pelaku usaha saja," katanya.
Industri pupuk merupakan jantung dari perekenomian dan kehidupan rakyat.
Dinamika politikpun tergantung dari kesehatan pabrik pupuk. Dia melihat dan memastikan ada bias kebijakan sehingga revitalisasi pabrik pupuk menjadi terlambat. Buktinya Indonesia mempunyai pabrik pupuk yang usianya sampai 30 tahun. Secara logika penyusutannya sudah tidak cukup untuk investasi. Bias kebijakan ini harus dihentikan agar tercipta pembangunan pabrik pupuk yang berkelanjutan
Sementara, Ketua Komite Kebijakan Publik Fachry Ali mengungkapkan melihat sebagian dari eksistensi politik bangsa terletak dari kemampuan kita mendistribusikan pupuk secara tepat dan fair. Pupuk tidak hanya persoalan petani, tapi juga persoalan politik. Lebih tepat disebut perebutan didalam mendapatkan hak, siapa yang paling berhak merumuskan kebijakan nmasalah pupuk. Ada DPR, Pertanian, Perdagangan, Kementerian BUMN. Ke dua visi ekonomi. Apakah visi ekonomi pasar. Negara harus mundur, atau memberikan tempat bagi negara untuk merencanakan. Beberapa hal ini yang menentukan kebijakan pupuk. Kalau terjadi liberalisasi pada pupuk apa yang akan terjadi pada petani. Kalau diliberalisasikan para pemodal yang akan menang dalam pertarungan.
Dia juga menyayangkan tidak ada perdebatan apapun tentang land reform ini di dalam perdebatan Pemilu lalu. Sementara anggota KKP Ismet Hasan Putro mengatakan adalah sangat ironis jika untuk industri pupuk gas harus dibeli dalam mata uang dollar padahal itu pembelian dalam negeri dan untuk kepentingan nasional. Sedikit saja ada fluktuasi nilai tukar dollar maka akan berdampak kerugian besar bagi industri pupuk. Sementara penetapan harga jual pupuk sudah ditetapkan oleh pemerintah. KKP melihat belum ada arah kebijakan politik nasional yang berupaya melindungi industri pupuk tanah air.
Di sisi lain industri pupuk saat ini berusia diatas 20 tahun. Dengan kondisi saat ini secara bisnis tertatih-tatih, dan dari segi bisnis sudah tidak lagi kompetitif. Produktifitasnya menurun, dan bagaimana untuk melanjutkan bisnisnya jika kondisi ini terus berjalan. "Saya curiga jangan-jangan kebijakan gas yang tidak berpihak kepada industri pupuk itu adalah bagian dari satu design besar untuk menghancurkan industri pupuk nasional. Sinyalemen ini sudah ada. Oleh karena itu saya sangat merisaukan kalau ada depertemen tertentu yang bermain-main untuk kepentingan bisnis tertentu dengan upaya-upaya untuk menghabisi industri pupuk. Kalau ini dibiarkan dampaknya akan besar sekali dan berpeluang terhadap impor pupuk ke depan. Kalau ini terjadi devisa kita akan habis. Petani akan beli pupuk dengan harga pasar. Pemerintah tidak bisa lagi intervensi dan ini sangat merisaukan," katanya.
Ke dua, menurut Ismet, masih ada kelemahan sinergi di dalam tubuh BUMN terkait dengan produsen dan konsumsen. Antara industri pupuk dengan pengguna terbesar seperti PTPN atau pihak-pihak lain yang membutuhkan pupuk dalam skala besar. Belum terjadi sinergi efektif dan efisien. Hal ini mestinya segera dilakukan untuk menunjang produktivitas semua pihak. Misalkan PTPN membutuhkan pupuk dari Petrokimia Gresik. Maka dia harus melalui distributor tidak bisa beli langsung. Padahal mekanisme seperti ini telah mengeluarkan biaya 10 persen. Kenapa tidak ada kebijakan untuk membeli langsung. Itu kehilangan bagi negara. Mengapa tidak ada sinergi.
Ke tiga kita seirng sekali mengabaikan bahwa Kementerian BUMN sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap industri pupuk tetapi tidak diberi kewenangan yang sepatutnya didalam mengendalikan bisnis atau sistem korparasi di tubuh industri pupuk kita. Ada intervensi yang sangat kuat sekali dari Departemen Perdagangan dan Departemen Pertanian. Dan juga bahkan mereka sangat tergantung sekali dengan kebijakan yang tidak berpihak dari Depertemen ESDM. Kalau ini dibiarkan akan menjadi ancaman yang sangat serius terhadap industri pupuk. Dan bukan dari pihak luar, tapi justru dari instrumen negara itu sendiri dan mereka adalah bagian dari kepentingan-kepentingan yang menyelundup masuk ke departemen-departemen itu.
Mestinya BUMN diberikan kewenangan penuh mekanisme kebutuhan pupuk ditentukan oleh pasar. Kalaupun pemerintah akan memberikan subsidi itu diberikan langsung kepada petani. Jadi semakin tidak sinerginya dan tidak ada kordinasi efektif yang sifatnya implentatif antar departemen, itulah yang kemudian membuat banyak pihak dirugikan. Petani bahkan industri pupuk.
Industri pupuk tidak bisa melakukan revitalisasi pabrik yang sudah tua, karena tidak punya dana. Ada dana tapi harus dijamin dengan pasokan gas. Ada perusahaan gas milik negara. Bank Mandiri yang punya uang banyak itu bank negara. Mestinya mereka bisa melakukan back up. Tetapi itu tidak terjadi karena tidak ada kordinasi dan sinergi yang efektif antar departemen untuk melakukan penataan yang bersifat berpihak terhadap kepentingan industri pupuk dan petani indonesia. Gas harus dibeli dalam nilai tukar dolar. Ini apa-apaan. Mestinya ini prakterk yang harus dihentikan. Mengapa untuk belanja guna kepentingan negara harus dengan dolar tidak rupiah. Lalu mengapa pupuk selalu dipersulit untuk mendapatkan jatah gas, ada apa dibalik itu semua.
Mengapa pupuk selalu ada persoalan terus menerus, karena tidak melihat dari hulu persoalannya. Melihat persoalan pupuk hanya secara sektoral. Mestinya kebijakan pupuk ini ditangani satu depertemen sehingga lebih fokus. Tidak seperti sekarang, antar departemen tidak sejalan dan berjalan sendiri-sendiri.
Ida Syahrul