20 Persen Pupuk Bersubsidi Diselundupkan
Selisih harga yang cukup besar menjadi penyebab penyelundupan.
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mensinyalir adanya penyelundupan pupuk urea bersubsidi ke sejumlah negara di kawasan Asia, sekitar 20 persen dari jumlah stok yang disediakan pemerintah. Penyelundupan berlangsung dengan memanfaatkan selisih harga jual pupuk dalam negeri dengan luar negeri yang mencapai Rp 5.500 per kilogram.
''Kami memprediksi (jumlah) pupuk Urea bersubsidi yang diselundupkan mencapai 20 persen,'' ujar Ketua pembina HKTI Siswono Yudo Husodo, saat memberikan sambutan Seminar Ketersediaan Pangan, Keterjangkauan Harga' di Jakarta, Selasa (6/4). Siswono meminta Ditjen Bea dan Cukai serta Departemen Perdagangan (Depdag) melakukan verifikasi distribusi pupuk bersubsidi antarpelabuhan dalam negeri. Dibanding periode 2007, penyelundupan pupuk Urea bersubsidi tahun 2008 mengalami peningkatan.
Menurut Siswono, selisih harga jual pupuk urea bersubsidi dalam negeri dengan harga internasional sebanyak Rp 5.500 per kilogram menjadi pendorong kuat terjadinya penyelundupan. Harga eceran tertinggi (HET) pupuk urea bersubsidi sebesar Rp 1.200 per kilogram, sedang harga internasional mencapai 600 dolar AS per ton dari harga semula 280 dolar AS per ton. Kemudian, harga internasional pupuk SP-36 mencapai 800 dolar AS per ton atau setara Rp 7.300 per kilogram, padahal HET lokal mencapai Rp 1.550 per kilogram atau ada selisih Rp 5.750 per kilogram.
''Modus penyelundupan berupa pemalsuan dokumen pengangkutan antarpulau. Ini harus diwaspadai semua pihak,'' katanya. Siswono menegaskan, sinyalemen tersebut sangat kuat karena menjelang musim tanam gadu, penyebaran pupuk bersubsidi di lapangan terjadi kelangkaan. Disamping itu, jika pun ada, harganya terus melambung dan memberatkan petani. Untuk pupuk urea bersubsidi yang HET-nya Rp 1.200 per kilogram, petani kerap membeli dengan harga Rp 1.400 sampai Rp 1.600 per kilogram.
''Bahkan termasuk harga pupuk yang tidak bersubsidi sekalipun, harganya ikut melambung tinggi,'' beber Siswono. Sementara, mengenai verifikasi, kata Siswono, dimaksudkan agar jumlah pengiriman pupuk bersubsidi dari pelabuhan pengirim sama persis dengan laporan di pelabuhan penerima dalam distribusi antar pulau. Jika tidak segera dicegah, beban pemerintah untuk subsidi pupuk akan semakin berat.
Sejumlah negara dicurigai menjadi penerima pupuk selundupan, yakni Malaysia, Thailand serta negara-negara ASEAN. Negara-negara tersebut lebih tertarik menerima pupuk asal Indonesia, karena kualitasnya melebihi produk pupuk asal Kuwait serta Rusia.
Siswono mengungkapkan, pada tahun 2007, subsidi pupuk mencapai Rp 6,7 triliun. Dari sekian juta ton pupuk yang disubsidi, sebanyak 10-15 persen diselundupkan ke luar negeri. Kemudian, pada triwulan pertama tahun 2008, subsidi pupuk mencapai Rp 7,5 triliun dan akan ditingkatkan menjadi Rp 10 triliun, akibat kenaikan harga gas. Namun, belum genap setengah tahun, HKTI mendapat laporan jumlah pupuk yang diseludupkan sebesar 20 persen dari jumlah keseluruhan pupuk yang disubsidi.
Jangan naik
Terlepas masih tingginya angka penyelundupan, HKTI, kata Siswono meminta pemerintah tidak menaikkan harga pupuk saat ini. Jika kenaikan harga pupuk dilaksanakan, maka upaya pemerintah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras, akan sia-sia.
''Petani akan bereaksi karena pekan-pekan ini merupakan masa tanam gadu periode kedua tahun 2008 ini. Gimana mau menaikkan, pasokan pupuk saja di beberapa daerah mengalami kelangkaan, sementara di sejumlah daerah harganya justru naik,'' ujar Siswono.